Pagi itu seperti biasa jam 6.30 pagi di kamarku,
aku membereskan meja belajar sambil merapikan buku-buku yang malamnya
kugunakan, ku siapkan alat tulis, buku catatan dan jas putih yang biasa
kukenakan ketika bertugas. Tiba-tiba pintu rumah diketuk dengan agak keras oleh
seorang ibu-ibu yang suaranya tidak asing lagi di telingaku. Aku pun tak
menghiraukannya karena ibuku sudah membukakan pintu dan menemuinya, aku tetap
melanjutkan aktifitasku pagi itu, menyiapkan semua keperluan di dalam tas dan
bersiap untuk mandi karena jam 08.00 aku harus tiba di RS.
Saat aku mengambil handuk
dan beranjak dari tempat dudukku tiba-tiba ibuku datang dengan tergesa-gesa dan
wajah yang tampak cemas.“ Cepat lihat simbah sebelah rumah, tadi anaknya
kesini minta tolong dicek apakah ayahnya sudah tidak ada,”
kata ibuku dalam bahasa Jawa. Langsung saja kata-kata ibuku membuat aliran darah ke seluruh bagian tubuhku meningkat, jantung berdetak lebih cepat sehingga otot-otot pun menegang tak terkecuali otot disekitar bola mataku yang tadinya masih sayup-sayup karena masih mengantuk lantaran malamnya harus menyelesaikan tugas sampai larut, tiba-tiba saja terbuka dengan spontan seolah ada yang menarik kelopak mata itu dengan segera.
kata ibuku dalam bahasa Jawa. Langsung saja kata-kata ibuku membuat aliran darah ke seluruh bagian tubuhku meningkat, jantung berdetak lebih cepat sehingga otot-otot pun menegang tak terkecuali otot disekitar bola mataku yang tadinya masih sayup-sayup karena masih mengantuk lantaran malamnya harus menyelesaikan tugas sampai larut, tiba-tiba saja terbuka dengan spontan seolah ada yang menarik kelopak mata itu dengan segera.
“Haah??” tanpa berfikir
panjang segera ku raih stetoskop yang tergantung di dinding kamarku dan kucari penlight
(lampu senter) yang kusimpan dalam lemari. Segera aku berlari tanpa
memperdulikan penampilanku yang berantakan, masih muka bantal. Dalam perjalanan
menuju rumah kakek itu terbersit dipikiranku tentang kondisi kakek itu
sebelumnya. Sang kakek sudah lama sakit-sakit, sudah kurang lebih 2 tahun hanya
bisa tiduran di rumah, segala sesuatu dikerjakan dikamarnya dan segala
aktifitas harus dilayani oleh anggota keluarga yang lain, beruntung istri dan
anak-anaknya setia dan sabar mendampingi selama ini, mereka ibarat kaki dan
tangan kakek itu, setiap pagi si anak selalu mengajak sang kakek untuk berjemur
di bawah sinar matahari pagi, diatas kursi rodanya sang kakek menikmati udara
luar dan tak jarang teman seusianya yang masih sehat datang mengunjunginya
untuk mengobrol maupun sekedar bertegur sapa. Sang kakek awalnya menderita
pembesaran kelenjar psostat, sehingga mengalami gangguan dalam mengeluarkan
urin, bila tidak segera di operasi tentulah ginjalnya yang akan bermasalah,
karena racun-racun dari tubuh yang harusnya dibuang bersama urin tak bisa
dikeluarkan. Alhasil racun-racun tersebut akan meracuni tubuh yang awalnya
ditandai dengan kerusakan ginjal. Namun jika dilakukan operasi pun tidak lantas
selesai semua perkara, karena usia sang kakek yang sudah tua tentulah ada
banyak kemungkinan komplikasi akibat prosedur operasi. Pihak keluarga akhirnya
menyerahkan semua keputusan pada dokter, dan pilihan yang terbaik saat itu
adalah operasi.
Setelah operasi kondisi
sang kakek membaik, namun bagaimanapun juga karena usia kakek yang sudah
lanjut, banyak penyakit menumpanginya mulai dari jantung dan hipertensi. Terkadang
ketika sang kakek kurang sehat, si anak yang berusia paruh baya memintaku
menhunjungi kakek untuk mengukur tensinya. Tak jarang keluarga itu meminta
saran-saran dariku baik dari segi pola makan apa yang sebaiknya dikonsumsi atau
yang menjadi pantangan, gimana kira-kira kondisinya apakah berbahaya atau
tidak, apa yang sebaiknya dilakukan keluarga dan pertanyaan-pertanyaan lain,
karena mereka tahu aku sekolah di kedokteran tak jarang orang-orang disekitarku
menganggap aku sebagai dokter sungguhan bahkan memanggilku dengan sebutan “bu
dokter”, Meski kadang merasa kurang nyaman dengan panggilan itu, kucoba untuk
memahaminya, karena itulah profesiku nantinya. Hal yang hampir selalu kualami ketika
bertemu dengan orang lain adalah sebagian besar diantara mereka pastilah
mengeluhkan sakit ini itu dan menanyakan apa obatnya. Meskipun dalam hati aku
juga sering bingung bagaimana menjawabnya karena belum banyak pengalaman yang kudapatkan.
Berbekal sedikit ilmu yang kupelajari, dengan kalem pun kucoba menjawab
sebisaku tanpa menunjukkan keragu-raguanku pada mereka, Tak jarang setelah itu
aku membuka buku untuk memastikan kalau-kalau ada yang salah dari apa yang
kusampaikan.
Setibanya dirumah sang
kakek, aku bergegas menuju kamarnya, karena sudah sering aku memasuki ruangan
itu. Kulihat beberapa anggota keluarga mengerubungi sang kakek,seorang pria
paruh baya tampak mencoba menenangkan istrinya yang mencoba menahan isak
tangisnya, pria itu adalah menantu dari kakek ini. Setelah aku datang beberapa
orang memberiku jalan diantara kerumunan itu, mempersilahkan aku untuk
memeriksanya.
Ketika ku lihat, wajah
kakek itu tampak sangat pucat, kucoba raba tangan dan kakinya mulai dingin dingin,
kupastikan dengan mencari denyut nadi ditangan dan lehernya tak teraba,
kurasakan hembusan nafasnya tak terasa akhirnya kukenakan stetoskopku untuk
mencari denyut nadinya, dan hasilnya pun nihil, sama sekali tak kutemukan detak
jantungnya. Satu pemeriksaan lagi untuk memastikan bahwa kakek sudah benar-benar
meninggal, kubuka kelopak matanya dank u sinari dengan penlight yang
kubawa, pupil matanya sudah melebar, tak lagi berespon dengan cahaya. Kakek ini
benar-benar sudah tiada.
Semua orang diruangan itu
menunggu hasil pemeriksaanku,dan dengan berat hati pun kuberanikan diri dan
berucap “Innalillahi wa innaillaihi roji’un”. Setelah mendengar kalimat itu,
sontak isak tangis dari keluarga yang ditinggalkan memecah keheningan sebelumnya.
Ruangan menjadi sangat riuh saat itu, tetangga- tetangganya mulai berdatangan
dan mulai mempersiapkan perawatan jenazah. Aku mencoba untuk menarik diri dari
kerumunan orang-orang it, seakan tak percaya bahwa si kakek sudah benar-benar
tiada, padahal 2 hari sebelumnya ketika aku sedang menjemur pakaian disamping
rumah, masih melihatnya duduk di bawah sinar matahari padi di halaman rumahnya.
Kematian memanglah
misteri, dan hanya Allah yang tahu. Cepat atau lambat kita semua pasti sampai
pada saat itu. Saat ketika semua bagian tubuh ini tak lagi berfungsi, saat
jantung tak lagi berdetak, saat mata ini terpejam untuk selama-lamanya, saat
meninggalkan dunia dan segala isinya, dan saat meninggalkan orang-orang yang
kita sayangi, menuju ke kehidupan abadi di sisiNya. Lantas siapkah kita
menghadapi saat-saat itu?
Jujur saja dari hati yang terdalam, aku ingin ALLAH memberikanku panjang umur, masih banyak mimpi-mimpi yang
ingin kuraih,membahagiakan kedua orang tuaku, dan membentuk sebuah keluarga. Aku
ingin melihat lebih lama perjalanan dunia ini, mendidik dan melihat anak-anak
dan cucuku kelak besar. Selain, tentu saja mempersiapkan bekal
sebanyak-banyaknya untuk menghadapNYA. Aku merasa bahwa bekal dan amal ibadahku
masih kurang dan terlalu sedikit dibanding dengan kesalahan dan dosa-dosaku …
Astagfirullah …. Tetapi aku berpasrah seutuhnya akan hidup ini kepadaNYA …
semoga ALLAH mengabulkan doaku dengan diberikan umur panjang yang berkah dan
dipenuhi ibadah kepadaNYA …. amin ya Rabb.
No comments:
Post a Comment