Friday, February 10, 2012

Kematian itu Sangat Dekat

            Pagi itu seperti biasa jam 6.30 pagi di kamarku, aku membereskan meja belajar sambil merapikan buku-buku yang malamnya kugunakan, ku siapkan alat tulis, buku catatan dan jas putih yang biasa kukenakan ketika bertugas. Tiba-tiba pintu rumah diketuk dengan agak keras oleh seorang ibu-ibu yang suaranya tidak asing lagi di telingaku. Aku pun tak menghiraukannya karena ibuku sudah membukakan pintu dan menemuinya, aku tetap melanjutkan aktifitasku pagi itu, menyiapkan semua keperluan di dalam tas dan bersiap untuk mandi karena jam 08.00 aku harus tiba di RS.
Saat aku mengambil handuk dan beranjak dari tempat dudukku tiba-tiba ibuku datang dengan tergesa-gesa dan wajah yang tampak cemas.“ Cepat lihat simbah sebelah rumah, tadi anaknya kesini minta tolong dicek apakah ayahnya sudah tidak ada,”

kata ibuku dalam bahasa Jawa. Langsung saja kata-kata ibuku membuat aliran darah ke seluruh bagian tubuhku meningkat, jantung berdetak lebih cepat sehingga otot-otot pun menegang tak terkecuali otot disekitar bola mataku yang tadinya masih sayup-sayup karena masih mengantuk lantaran malamnya harus menyelesaikan tugas sampai larut, tiba-tiba saja terbuka dengan spontan seolah ada yang menarik kelopak mata itu dengan segera.
“Haah??” tanpa berfikir panjang segera ku raih stetoskop yang tergantung di dinding kamarku dan kucari penlight (lampu senter) yang kusimpan dalam lemari. Segera aku berlari tanpa memperdulikan penampilanku yang berantakan, masih muka bantal. Dalam perjalanan menuju rumah kakek itu terbersit dipikiranku tentang kondisi kakek itu sebelumnya. Sang kakek sudah lama sakit-sakit, sudah kurang lebih 2 tahun hanya bisa tiduran di rumah, segala sesuatu dikerjakan dikamarnya dan segala aktifitas harus dilayani oleh anggota keluarga yang lain, beruntung istri dan anak-anaknya setia dan sabar mendampingi selama ini, mereka ibarat kaki dan tangan kakek itu, setiap pagi si anak selalu mengajak sang kakek untuk berjemur di bawah sinar matahari pagi, diatas kursi rodanya sang kakek menikmati udara luar dan tak jarang teman seusianya yang masih sehat datang mengunjunginya untuk mengobrol maupun sekedar bertegur sapa. Sang kakek awalnya menderita pembesaran kelenjar psostat, sehingga mengalami gangguan dalam mengeluarkan urin, bila tidak segera di operasi tentulah ginjalnya yang akan bermasalah, karena racun-racun dari tubuh yang harusnya dibuang bersama urin tak bisa dikeluarkan. Alhasil racun-racun tersebut akan meracuni tubuh yang awalnya ditandai dengan kerusakan ginjal. Namun jika dilakukan operasi pun tidak lantas selesai semua perkara, karena usia sang kakek yang sudah tua tentulah ada banyak kemungkinan komplikasi akibat prosedur operasi. Pihak keluarga akhirnya menyerahkan semua keputusan pada dokter, dan pilihan yang terbaik saat itu adalah operasi.
Setelah operasi kondisi sang kakek membaik, namun bagaimanapun juga karena usia kakek yang sudah lanjut, banyak penyakit menumpanginya mulai dari jantung dan hipertensi. Terkadang ketika sang kakek kurang sehat, si anak yang berusia paruh baya memintaku menhunjungi kakek untuk mengukur tensinya. Tak jarang keluarga itu meminta saran-saran dariku baik dari segi pola makan apa yang sebaiknya dikonsumsi atau yang menjadi pantangan, gimana kira-kira kondisinya apakah berbahaya atau tidak, apa yang sebaiknya dilakukan keluarga dan pertanyaan-pertanyaan lain, karena mereka tahu aku sekolah di kedokteran tak jarang orang-orang disekitarku menganggap aku sebagai dokter sungguhan bahkan memanggilku dengan sebutan “bu dokter”, Meski kadang merasa kurang nyaman dengan panggilan itu, kucoba untuk memahaminya, karena itulah profesiku nantinya. Hal yang hampir selalu kualami ketika bertemu dengan orang lain adalah sebagian besar diantara mereka pastilah mengeluhkan sakit ini itu dan menanyakan apa obatnya. Meskipun dalam hati aku juga sering bingung bagaimana menjawabnya karena belum banyak pengalaman yang kudapatkan. Berbekal sedikit ilmu yang kupelajari, dengan kalem pun kucoba menjawab sebisaku tanpa menunjukkan keragu-raguanku pada mereka, Tak jarang setelah itu aku membuka buku untuk memastikan kalau-kalau ada yang salah dari apa yang kusampaikan.
Setibanya dirumah sang kakek, aku bergegas menuju kamarnya, karena sudah sering aku memasuki ruangan itu. Kulihat beberapa anggota keluarga mengerubungi sang kakek,seorang pria paruh baya tampak mencoba menenangkan istrinya yang mencoba menahan isak tangisnya, pria itu adalah menantu dari kakek ini. Setelah aku datang beberapa orang memberiku jalan diantara kerumunan itu, mempersilahkan aku untuk memeriksanya.
Ketika ku lihat, wajah kakek itu tampak sangat pucat, kucoba raba tangan dan kakinya mulai dingin dingin, kupastikan dengan mencari denyut nadi ditangan dan lehernya tak teraba, kurasakan hembusan nafasnya tak terasa akhirnya kukenakan stetoskopku untuk mencari denyut nadinya, dan hasilnya pun nihil, sama sekali tak kutemukan detak jantungnya. Satu pemeriksaan lagi untuk memastikan bahwa kakek sudah benar-benar meninggal, kubuka kelopak matanya dank u sinari dengan penlight yang kubawa, pupil matanya sudah melebar, tak lagi berespon dengan cahaya. Kakek ini benar-benar sudah tiada.
Semua orang diruangan itu menunggu hasil pemeriksaanku,dan dengan berat hati pun kuberanikan diri dan berucap “Innalillahi wa innaillaihi roji’un”. Setelah mendengar kalimat itu, sontak isak tangis dari keluarga yang ditinggalkan memecah keheningan sebelumnya. Ruangan menjadi sangat riuh saat itu, tetangga- tetangganya mulai berdatangan dan mulai mempersiapkan perawatan jenazah. Aku mencoba untuk menarik diri dari kerumunan orang-orang it, seakan tak percaya bahwa si kakek sudah benar-benar tiada, padahal 2 hari sebelumnya ketika aku sedang menjemur pakaian disamping rumah, masih melihatnya duduk di bawah sinar matahari padi di halaman rumahnya.
Kematian memanglah misteri, dan hanya Allah yang tahu. Cepat atau lambat kita semua pasti sampai pada saat itu. Saat ketika semua bagian tubuh ini tak lagi berfungsi, saat jantung tak lagi berdetak, saat mata ini terpejam untuk selama-lamanya, saat meninggalkan dunia dan segala isinya, dan saat meninggalkan orang-orang yang kita sayangi, menuju ke kehidupan abadi di sisiNya. Lantas siapkah kita menghadapi saat-saat itu?
Jujur saja dari hati yang  terdalam, aku ingin ALLAH memberikanku  panjang umur, masih banyak mimpi-mimpi yang ingin kuraih,membahagiakan kedua orang tuaku, dan membentuk sebuah keluarga. Aku ingin melihat lebih lama perjalanan dunia ini, mendidik dan melihat anak-anak dan cucuku kelak besar. Selain, tentu saja mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk menghadapNYA. Aku merasa bahwa bekal dan amal ibadahku masih kurang dan terlalu sedikit dibanding dengan kesalahan dan dosa-dosaku … Astagfirullah …. Tetapi aku berpasrah seutuhnya akan hidup ini kepadaNYA … semoga ALLAH mengabulkan doaku dengan diberikan umur panjang yang berkah dan dipenuhi ibadah kepadaNYA …. amin ya Rabb.

No comments:

Post a Comment